Saya merasa bangga melihat Sang Saka Merah Putih berkibar di lapangan Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Momen bersejarah ini terjadi tepat pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 2024. Di penghujung masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memenuhi janjinya untuk menggelar upacara HUT ke-79 RI di IKN.
Saya menyaksikan melalui YouTube bagaimana Jokowi turun dari mimbar kehormatan, berjalan menuju meja Sang Saka, mengambil bendera kebangsaan Indonesia, dan menyerahkannya kepada Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Beberapa saat kemudian, Sang Saka berkibar di lapangan Istana Negara IKN. Ini adalah peristiwa yang bersejarah.
Gagasan pemindahan ibu kota negara sebenarnya sudah dicetuskan oleh Presiden Soekarno sejak 1957, dengan Palangkaraya, Kalimantan Tengah sebagai pilihannya. Melalui Presiden Jokowi, gagasan tersebut akhirnya menjadi nyata. Dasar hukum telah dibuat, dan pembangunannya dimulai.
Meskipun IKN masih jauh dari standar ibu kota negara, bagi saya, IKN adalah simbol masa depan Indonesia. “Upacara tahun ini adalah yang pertama di Ibu Kota Nusantara, simbol transisi menuju Indonesia yang lebih Indonesiasentris. Mari kita bawa kemajuan ke setiap sudut Tanah Air,” kata Jokowi. Saya sependapat. IKN menawarkan perspektif dan pendekatan baru menuju apa yang oleh W.R. Soepratman disebut “Indonesia Raya”.
Namun, IKN masih membutuhkan modal besar, kekuasaan, dan semangat yang besar pula. Selain itu, dukungan politik yang kuat, baik dari politik formal maupun publik secara umum, sangat diperlukan. Perjalanan ini masih panjang.
Di sisi lain, saya melihat sesuatu yang memprihatinkan dan kontradiktif. Di tengah kebutuhan besar untuk IKN, perilaku para pemimpin negara memperlihatkan gejala krisis keteladanan bernegara. Pada HUT ke-79 ini, wajah kita memperlihatkan guratan paradoks. Satu sisi membanggakan: IKN menjanjikan “ke-Raya-an”. Sisi lain memprihatinkan: krisis keteladanan bernegara yang dapat mengubur “ke-Raya-an” tersebut.
Robohnya Lembaga-Lembaga Pemerintahan
Pada tahun 1956, cerpen berjudul “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis diterbitkan oleh Penerbit Nusantara (Bukittinggi), dan sejak 1986 diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama. Cerpen tersebut terasa seperti baru diterbitkan lagi pada Agustus 2024. Surau tua di suatu kampung “roboh” karena penjaganya bunuh diri, sebuah peristiwa ironis dan paradoksal.
Baru-baru ini, kita juga menyaksikan banyak lembaga pemerintahan yang “roboh”. Misalnya, tiga lembaga pemerintahan produk reformasi “roboh” hampir bersamaan: Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saya yakin ini bukan kebetulan atau “roboh” tiba-tiba. Ada relasi sistemik yang membuatnya “roboh” secara bersamaan.
MK dibentuk untuk memastikan undang-undang negara tidak melenceng dari Undang-Undang Dasar dan tidak mengandung tendensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). KPK dibuat untuk menjaga negara dari rongrongan KKN, sementara KPU didesain untuk memastikan pemilu berlangsung bebas, jujur, adil, dan demokratis.
Namun, ketiga lembaga ini justru “roboh” karena krisis keteladanan bernegara para penjaganya. Di MK, Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat, sedangkan di KPK, ketuanya, Firli Bahuri, diberhentikan karena diduga memeras mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Di KPU, Hasyim Asy’ari dipecat dari jabatannya sebagai Ketua KPU karena pelanggaran etika yang terkait dengan tindakan asusila.
Kesadaran Transformatif
Pertanyaannya, siapa yang akan menjamin Sang Saka Merah Putih tetap berkibar di IKN pada HUT ke-100, 17 Agustus 2045, jika para penyelenggara negara terus dilanda krisis keteladanan?
Keteladanan bernegara dalam konteks Indonesia adalah kesadaran transformatif terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Kesadaran ini dapat dilihat dari perspektif penyelenggara negara dan rakyat. Dari sudut pandang penyelenggara negara, Pancasila adalah paradigma bagi proses pembuatan kebijakan dan keputusan politik untuk kesejahteraan rakyat. Dari sisi rakyat, Pancasila dapat difungsikan sebagai ideologi kritik, sebagai kerangka evaluasi terhadap kebijakan, program, regulasi, dan perilaku penyelenggara negara.
Namun, aspek semangat dan suasana kebatinan dari Pancasila sering diabaikan, padahal sangat penting. UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi mencantumkan bagian Penjelasan UUD 1945, yang sebelumnya menekankan pentingnya semangat gotong royong dalam penyelenggaraan negara.
Tanpa kesadaran transformatif, berat bagi Sang Saka Merah Putih untuk terus berkibar di IKN pada masa depan. Dan kesadaran transformatif ini harus diteladani dari pemimpin tertinggi negara.